Kisah Orang Tua Panda Nababan

Panda Nababan merupakan seorang anak bangsa yang lahir pada tanggal 13 Februari 1944 di Tapanuli Utara. Tepatnya disebuah desa yang terletak di punggung bukit barisan, tingginya sekitar 1.200 meter diatas permukaan laut Sumatra Utara. Desa tersebut bernama Siborong-borong, yang sekarang sudah layak disebut sebagai kota karena jaraknya hanya sekitar 16 kilometer dari Bandar Udara Internasional Silangit.

Beliau merupakan seorang yang memiliki pergaulan cukup luas, meliputi bermacam kalangan dari berbagai latar belakang. Mulai dari aktivis sampai politisi. Mulai dari jurnalis sampai pekerja seni.Mulai dari pengusaha sampai pemuka agama. Mulai dari rakyat kecil sampa pejabat tinggi negara, termasuk beberapa Presiden.

Sama seperti yang lainnya, kehidupan seorang Panda Nababan juga dihadapkan dengan beberapa gelombang dasyat dalam mengarungi samudra hidupnya. Beberapa kali bahkan ia harus mendekam dibalik jeruji besi karena aktivitas politik yang dilakukannya.

Panda adalah nama panggilannya sejak kecil, akan tetapi nama tersebut bukan diambil dari beruang cina. Panda merupakan kependekan dari Pandapotan. Pandapotan Maruli Asi Nababan, nama tersebut diberikan oleh kedua orang tuanya. Ia merupakan anak kesepuluh dari sebelas bersaudara. Ada delapan anak laki-laki termasuk dirinya dan tiga anak perempuan.

Berbeda dari saudara-saudaranya yang lain, setiap rangkaian namanya murni diambil dari bahasa batak. Pandapotan Maruli Asi Nababan memiliki arti ‘mendapatkan bersama kasih’. Nama tersebut diberikan oleh ayahnya pada masa penjajahan Jepang, dimana pada masa tersebut kehidupan sedang sulit-sulitnya. Kelahirannya diharapkan bisa “ mendapatkan kebahagiaan bersama kasih “.

Ayahnya bernama Jonathan Laba Nababan, Beliau merupakan putra dari seorang pedagang kerbau, Nathanael Nababan namanya. Sang kakek kemudian mengirim ayahnya ke Solo, perjalanan dari siborong-borong ke solo ditempuh lebih dari satu bulan pada saat itu. Terbayang bukan, bagaimana jauhnya? Sungguh sangat berbeda jika dibandingkan dengan sekarang, menggunakan pesawat terbang dapat ditempuh hanya dengan beberapa jam saja. Sang ayah menjalani pendidikan selama lima tahun disana. Banyak hal yang sering diceritakan, salah satunya adalah ketika ia bertemu dengan rombongan raja Solo di jalan. Karena Raja akan lewat semua warga berjongkok untuk menghormatinya, berbeda dengan ayahnya yang terus berdiri hingga ditegur oleh petugas keraton. Namun tetap tidak mau berjongkok, kepada petugas sang ayah mengatakan bahwa ia juga merupakan anak raja, Raja Nababan.

Cerita tersebutlah yang terus membekas dalam diri seorang Panda Nababan. Kisah tersebut membuatnya tersadar dan membentuk cara pandang dan sikapnya terhadap sesama manusia. Bahwa semua manusia adalah sama dan sederajat, apa pun suku, bahasa, status, dan latar belakangnya.

Mencerdaskan Kampung Halaman.

Lulus dari pendidikannya pada tahun 1925, Laba Nababan mengajar di kota perkebunan tembakau. Sempat diajak untuk mengajar ke Batavia, namum ia memilih pulang ke Tapanuli untuk mencerdaskan orang Batak di kampung halamannya. Kemudian mengajar di HIK Sipoholon, Tarutung. Pada saat itu usianya baru mengijak 20 tahun. Namun sang ayah ( Laba Nababan ) sudah menjadi sosok guru yang sangat disegani, berwibawa, dan terkenal dalam menegakkan disiplin. Ayah dan ibunda Panda selalu mengajarkan sikap yang toleran, menghargai sesama, hemat, dan bertanggung jawab.

Tak sedikit muridnya yang kini menjadi tokoh ternama seperti, Mr. J.T.C. Simorangkir ( Salah seorang pendiri harian Sinar Harapan ), A.E Manihuruk ( Mantan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara ), dan Kolonel Mauludin Simbolon ( salah seorang pemimpin Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, PRRI, yang melawan pemerintahan Soekarno ).

Di Lembaga Pendidikan HIK Sipoholon, ayah dan ibunya kemudian bertemu, menjalin hubungan kemudian menikah. Melahirkan sebelas anak termasuk Panda Nababan. Ibunya bernama Erna Intan Dora Lumbang Tobing, merupakan seorang anak Pendeta yang disekolahkan oleh ayahnya di usianya yang ke 14 pada tahun 1912. “ Kalau kau tidak sekolah, Perempuan Batak akan jadi bodoh terus. Jadi, kau harus sekolah “ seperti itulah yang dikatakan oleh ayahnya. Hingga di usia 17 tahun ia sudah menjadi seorang guru.

Erna Intan Dora Lumbang Tobing merupakan sosok guru wanita yang pandai dalam ragam tulisan dan bahasa. Mahir menggunakan huruf dan tulis-tulisan arab gundul, aksara pegon. Lancar membaca teks melayu beraksara pegon, ia bahkan fasih berbahasa Minang. Sama seperti sang ayah, ibunya juga kembali ke Balige untuk mencerdaskan kaum perempuan di Tapanuli.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *